Cerita sebelumnya: Edna Lee adalah seorang reporter yang ditugaskan untuk mewawancarai seorang penulis buku yang hidupnya bagaikan pertapa bernama Manuka Das. Penulis ini telah menuliskan sebuah kisah horor berjudul Scared to Death. Ditengah wawancara berlangsung, seorang presenter TV Dan Blather membaca beberapa paragraf awal dari buku tersebut dan kemudian jatuh tak sadarkan diri.
Kalimat yang bisa membuat para jurnalis bahagia ketika sedang bertugas adalah “kematian tragis”, apalagi jika melibatkan seorang selebriti.
Mencoba untuk terlihat berduka dengan pantas namun gagal, para reporter dan fotografer itu dengan antusias segera memotret presenter TV yang terjatuh itu, mengabadikannya dari setiap angle.
Produser dari Dan Blather, Ronny Rott mendorong Stella Tin, dan Ronny membisikkan perintah pada reporter yang menjadi wakil dari Dan Blather itu : “Kita masih siaran langsung, kamu harus ambil alih.”
Wajah wanita muda itu membeku dalam ketegangan teror. “Apa yang harus kukatakan? Aku tidak bisa berbicara tanpa skrip”.
“Bicara sajalah, kamu kan pandai.” bohong si produser pada reporternya.
Dengan gugup Stella Tin melangkah ke depan kamera dan mulai berbicara.“Saya Stella Tin, meliput langsung dari lokasi kejadian, sang reporter kenamaan Dan Blather baru saja jatuh tak sadarkan diri. Ada kekhawatiran bahwa dia mungkin meninggal, atau mungkin juga dia emmm….”
“Masih hidup”, sahut reporter lain dengan lancangnya.
Wanita yang terlatih dangan P3K mengatakan “Maaf, kita tidak punya cukup perlengkapan disini. Tidak ada yang bisa dilakukan. Kita kehilangan dia.”
Stella membasahi matanya dengan air mata kesedihan palsu, lalu dia berkata dengan suara yang dibuat-buat serak. “Seperti yang anda semua dengar, Dan Blather, salah satu jurnalis kenamaan terbaik, kini telah terbaring meninggal dekat kaki dekat saya, dan pertanyaannya adalah…mengapa ini terjadi? siapakah yang akan menggantikan posisinya, siapakah yang nanti menempati kantornya?”
“Hentikan senyummu”, bisik si produser.
Stella mencoba menghentikan mimik muka tersenyumnya namun gagal.
Ketika kamera sudah dimatikan para reporter itu lalu menelepon polisi dan ahli forensik. Polisi dan ahli forensik lokal nampaknya tidak bisa diandalkan, lagipula saat itu mereka berada di Taklamakan, sebuah dareah perbatasan gurun bagian barat daya Cina.
Edna mencoba menelan ludahnya. “Dengar, aku memang bukan seorang detektif, tapi AKU seorang reporter kasus kriminal, aku sudah sering bekerja sama dengan polisi dan aku tidak keberatan untuk mengorganisir segala sesuatunya."
Telepon berdering, suara deringnya terdengar aneh karena itu pesawat telepon model lama.
Agen Nona Manuka Das, Tina Mayer mangangkatnya. Dia mendengarkan orang berbicara dari seberang sana…kemudian wajahnya menjadi berseri.
Jika dilihat dari ekspresi wajah Mayer, Edna dapat menarik kesimpulan bahwa ada penerbit yang telah menawarkan banyak uang untuk manuskrip buku Scared to Death.“Aku tidak bisa memberikan persetujuan sekarang.” Kata Mayer pada si penelepon. “Aku mengharapkan adanya ketertarikan khusus pada isi bukunya.”
Perhatian Edna yang awalnya tersita pada pembicaraan Tina Mayer teralihkan. Edna cukup kaget karena ternyata sang penulis novel , Manuka Das mendekatinya dengan diam-diam. Manuka Das berbisik pada Edna, “Jika kamu mencoba mencari siapa yang membunuh Mr. Blather, aku bisa member tahumu,” ujarnya.
Kini wajah Edna hanya berjarak satu inchi dari wajah sang penulis. Mata teduh dan jari-jarinya yang kurus membuatnya tampak seperti seorang penyihir.
“Jadi, Mr. Blather bukan meninggal karena bukumu?” tanya Edna.
Sang penulis menggelengkan kepalanya. “ Bukan. Pelakunya adalah iblis gurun pasir”
Bersambung…